Deathiversary
Merayakan Dukacita Bermakna
Saat masih berusia 25 tahun kami kehilangan Papa Mama kami, hanya dalam selang waktu hanya 1 minggu karena sakit. Mama 17 Januari dan Papa 24 Januari 1988. Setelah itu berturut-turut 3 abang dan 1 adik dipanggil Tuhan dalam usia yang masih muda. Saat itu saya tak tahu rasanya berduka. Saya merasa kehilangan besar, dan ingin menggugat Yang Kuasa, kenapa begitu cepat memanggil Papa dan Mama, di usia mereka baru 57 tahun. Banyak pertanyaan yang menggelayut di hati saat itu. Namun duka itu hanya sebentar. Saya berusaha menekan, mengabaikan dan melupakan. Itulah buah dari nasihat banyak kerabat, “Kalian harus kuat dan tabah melepas Papa dan Mama”.
Rasa kehilangan itu muncul kembali setelah 13 tahun berlalu. Berkat menonton satu video seorang Guru yang tidak pernah kenal orang tua kandungnya. Ia diadopsi sejak bayi. Ia menegaskan dalam testimoninya, meski ia diserahkan kepada orang lain, ia sangat bangga dan selalu merindukan orang tua kandungnya. Tahun 2001 itu mendadak kerinduan akan Papa Mama muncul, dan saya segera mengajak istri berziarah ke Medan. Setelah itu bertahun-tahun kemudian kenangan tentang Papa dan Mama selalu muncul, dan mendorong saya menuliskan catatan tentang mereka. Inilah salah satu motivasi saya menjadi Penulis, mengingat jasa dan cinta Papa dan Mama.
Saya sedang membaca karya dr. Andreas K., Sp.KJ. dengan judul ‘Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring’. Dari buku dr. Andreas tersebut judul tulisan ini saya ambil, deathiversary. Dia memberi beberapa tips tentang merayakan dukacita bermakna. Sangat berguna. Inilah yang dia bagikan kepada pembaca.
Pertama, mengunjungi tempat peristirahatan terakhir orang yang kita kasihi. Disana mengenang dan menghormati kenangan bersama mereka.
Kedua, mengunjungi tempat bersejarah dimana kita sering bersama mereka. Bisa café, resto, kota yang terakhir kita kunjungi bersama. Ini tentu sangat sulit, tapi bisa dilatih. Atau mengunjungi tempat kelahiran orangtua kita seperti yang saya lakukan.
Ketiga, menulis surat, puisi, lagu atau gambar. Saya langsung menuangkan perasaan duka lewat menulis syair lagu untuk Papa dan Mama. Sewaktu-waktu saya menyanyikan kembali, sampai hari ini untuk mengingat mereka. Saya teringat, Ayah mertua saya selalu menyanyikan lagu yang ia tulis saat kehilangan istrinya. Itulah cara dia merayakan dan mengenang.
Keempat, membuat ritual atau aktifitas bermakna. Seperti menyalakan lilin sambil makan kue, menonton film kesukaan mereka, sambil tetap membelikan satu kursi (kosong) buat mereka. Sambil mengingat momen dengan orang kesayangan kita.
Kelima, berkumpul dengan sahabat dan keluarga. Menjelang hari Deathiversary, bisa menginap semalam atau dua malam di rumah keluarga dekat. Sambil menceritakan ulang kesan indah tentang mereka.
Keenam, dimana perlu ambil waktu berdiam diri di rumah dan mengingat kembali hal hal baik yang mereka pernah wariskan kepada kita, sambil mencatatnya. Suatu hari bisa membagikan refleksi itu kepada orang yang memerlukan.
Saat ini saya sedang menyelesaikan draft buku berjudul “Lebih dari Seorang Ayah”, dan akan mengambil waktu khusus menyelesaikannya. Berduka itu suatu seni yang bisa dipelajari.
Duka itu karunia Tuhan agar pulih dari kehilangan kita. Kita perlu orang-orang yang kita percayai dan aman untuk meluapkan duka dan ratapan jiwa kita. Kenangan adalah bukti kasih sayang. Meski kadang menyakitkan, pada waktunya kenangan itu memulihkan.
Buat kamu yang lagi berduka, semoga ini berguna.
@Julianto_Simanjuntak
Konselor di Pusat Konseling "Selalu Ada Harapan"