Mencinta Hingga Terluka

photo-1569008784345-21bdc27202b9.jpeg

"Pengampunan adalah tindakan sadar memutuskan untuk melepaskan kebencian telah merugikan. Tidak peduli apakah mereka itu benar-benar layak diampuni atau tidak"

Sebagian kita rentan terluka, oleh kemarahan, kekecewaan dan kehilangan. Andai sehari saja kita mengalami tiga kali terluka, maka lebih seribu kali dalam setahun.

Masalahnya ada yang mudah memaafkan dan ada yang sulit. Bagi yang mudah memaafkan, akan mengalami manfaat dari mengampuni. Sebaliknya, mereka yang sulit mengampuni akan mengalami banyak masalah psikhis maupun fisik.

Gaya hidup memaafkan bisa dipelajari, asalkan kita mau. Sifat pendendam atau sulit memberi maaf pada sebagian orang memang sudah diwarisi sebagian individu dari pola asuh yang salah di rumah.

Dalam pengantar yang dituliskan Prof Irwanto untuk buku kami, menarik sekali penekanannya

Semakin dalam cinta kita terhadap seseorang, kemungkinannya semakin parah luka yang kita derita. Argumen ini membingungkan kita. Apakah mencintai itu salah? Untuk menghindari luka batin, apakah kita lebih baik tidak mencintai? Inilah salah satu paradoks dalam hidup kita.

Kita merasakan puncak kenikmatan hidup ketika kita mencintai dan dicintai. Tetapi pada waktu yang bersamaan kita berisiko mengalami kepahitan hidup paling dalam jika cinta kita dikhianati atau tidak memperoleh tanggapan yang kita kehendaki. Jika risikonya begitu jelas, mengapa kita masih mau mencintai?

Jika hal ini ditarik ke dalam ranah profesi konseling dan profesi lain yang membantu manusia mengatasi persoalan hidup, paradoks ini menjadi semakin nyata. Seperti dikatakan oleh Dalai Lama yang dikutip di atas, hati manusialah (termasuk sikapnya) yang dapat menyembuhkan luka-luka mental seseorang.

Definisi

Arti memaafkan menurut kamus Webster ialah, ingat tapi tidak sakit.

Dalam buku mencinta hingga terluka kami menegaskan memaafkan tidak harus melupakan. Tidak mungkin kita membedah otak membuangnya ke tempat sampah untuk membuang memori buruk dalam pikiran kita. Semua kenangan yang pahit bisa dikelola, didaur ulang dalam anugerah dan kebaikan Roh Kudus

Menurut Johan Arnold, memaafkan adalah ”pintu perdamaian dan kebahagiaan. Pintu itu kecil, sempit dan tidak dapat dimasuki tanpa membungkuk.” Jika anda ingin bahagia, milikilah roh yang memaafkan.

Hati yang tidak memaafkan seperti penjara yang membelenggu jiwa seseorang. Penjara itu kejam sekali karena dapat merampas seluruh kebahagiaan hidup. Namun untuk punya jiwa memaafkan tidak mungkin tanpa kesediaan merendahkan diri, atau mengosongkan diri. Kristus sudah menjadi contoh klasik. Untuk mendamaikan kita dengan diri-Nya, Dia turun menjadi manusia, sama seperti kita. Dia merendahkan diri-Nya bahkan sampai mati di atas kayu salib.

Pengampunan membutuhkan pengorbanan, dari orang yang memaafkan untuk orang yang dimaafkan. Penyangkalan diri, pengakuan bahwa kita ikut bertanggungjawab terhadap masalah yang terjadi, menjadi bagian penting dalam proses memaafkan dan menerima maaf. Salah satu filsafat Jawa, “sing waras ngalah” kiranya menguatkan hal ini. Tak ada jalan lain untuk berdamai dengan seseorang yang kita kasihi, kecuali dengan mengalah, menyangkal diri, dan rela berbagi pengampunan.

Kebencian dan kemarahan yang tersimpan bisa menimbulkan banyak akibat buruk, termasuk berbagai penyakit, dalam tubuh kita. Saya teringat pepatah Cina mengatakan. ”Orang yang mau membalas dendam, harus menggali dua lubang kubur.” Atau pepatah Indonesia yang terkenal, ”Bagi orang yang ribut, menang jadi arang, kalah jadi abu.” Tidak ada gunanya balas dendam. Sebaliknya, ampunilah!

RISIKO MENCINTA

Risiko mencinta adalah terluka. Makin kita mencintai makin dalamlah luka kita. Makin berani masuk menikmati kedalaman sengat luka, lama kelamaan luka itu tidak terasa, akhirnya yang tersisa hanyalah cinta.

Masalah utama kita bukanlah seberapa banyak kita dilukai tapi seberapa besar stok cinta kita kepada yang melukai.

Mereka yang besar tanpa kasih sayang jauh lebih sensitif dilukai dan lebih susah memaafkan. Karena cinta adalah obat utama saat terluka. Karena itu belajarlah mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain.

Makin dalam luka kita makin besar daya pengampunan dibutuhkan. Jika anda belum selesai dalam memaafkan, tidak masalah. Sebab proses lebih penting daripada hasil. Memaafkan memang berisiko tapi tidak mengampuni jauh lebih berisiko.

Ya, dendam dan sakit hati sumber penyakit psikosomatis, merusak kesehatan mental anda

Mengelola Sisa Luka

Sebagian luka di dalam jiwa kita berbekas, ada "sisa". Terluka itu seperti ada seseorang menusuk hati kita dengan paku. Saat individu yang melukai meminta maaf, itu baru proses mencabut paku. Tapi selalu ada sisa berupa lobang bekas "paku" tadi. Nah, jika bekas lubang itu tidak ditutup dengan baik, maka sisa itu masih sangat terasa. Kalau ybs tidak minta maaf, maka lukanya jauh lebih dalam dan sakit. Tapi kalau ada rekonsiliasi, sisa itu bisa dinikmati.

Luka kekecewaan, kemarahan, atau luka kesedihan karena kehilangan sesuatu yang berharga pasti selalu akan ada sisa. Sisa itu bisa berpengaruh buruk, tapi bisa juga tidak. Sebagian orang ternyata sanggup memaafkan dan menikmati kenangan bekas luka tadi.

Kenangan pahit atas pengalaman buruk memang tidak mudah hilang. Meski tak jarang si pemilik luka itu kadang berpura-pura sudah sembuh. Tapi jika dia bertemu kembali dengan memori atau orangnya secara langsung, luka itu bisa mendadak kambuh.

Menutup Bekas Luka

Hati manusia yang berdosa memang rentan terluka. Apalagi masa kanak-kanak kita besar tanpa kasih sayang dan kekerasan. Gelas cinta kita kecil dan bocor, membuat kita rentan untuk dilukai. Mudah tersinggung, kecewa atau marah. Kita tumbuh menjadi pribadi yang tidak dewasa dan cenderung egois. Situasi inilah yang menambah luka itu mudah kambuh, dan terasa sakit kembali. Bahkan hanya karena faktor pencetus yang biasa.

Karena itu kita perlu berlatih menutup bekas lubang luka tadi. Kalau orang yang menyakiti kita tidak mau minta maaf atau tidak mampu mengubah diri, kita sendiri memulihkannya. Toh itu hati kita sendiri. Hidup kita sendiri. Jangan sampai kita terganggu hanya karena menunggu maaf dari orang tsb. Jangan kita tersiksa karena terus berharap orang itu berubah.

Jadilah dewasa, ambil tanggungjawab atas lukamu sendiri. Kita tinggal dengan orang berdosa, yang kapan saja bisa melukai kita. Sebaiknya kita mencegah sebelum kita dilukai. Kalau sudah kadung terluka, kita perlu segera memutuskan untuk memaafkan, meski orang tersebut tidak minta maaf. Sebab cinta kreatif atau agape memampukan kita untuk memaafkan mereka yang tidak tahu apa yang dia sudah perbuat.

Tapi kalau kita sengaja menyimpan luka, memelihara kemarahan itu maka luka itu tidak akan pernah sembuh. Malah, "sisa nanah" dari bekas luka itu bisa menyemprot ke sana kemari, kena pada orang yang tidak bersalah. Ahh, malangnya kamu yang senang menyimpan kemarahan. Para pendendam tidak akan pernah tinggal diam dengan tenang. Dia dihukum oleh keputusannya sendiri, menyimpan luka yang berubah menjadi kepahitan.

Belajar dari Setiap Luka

Pengampunan adalah tindakan
sadar memutuskan untuk melepaskan kebencian yang telah merugikan Anda. Tidak peduli apakah mereka itu benar-benar layak diampuni atau tidak.

Memaafkan artinya, ingat tapi sudah tidak sakit. Ya, jika saudara memutuskan untuk memaafkan maka saudara mampu menikmati bekas luka tadi. Berani menelusuri pengalaman anda dilukai. Mengambil hikmah dari pengalaman itu. Akhirnya dengan bekas luka tadi anda berani mendampingi mereka yang terluka.

Luka itu INVESTASI. Dengan bekas luka tadi kita cakap berempati karena pernah merasakan luka yang sama. Kita menghibur dengan penghiburan yang pernah kita terima. Jadi tak ada luka yang sia-sia.

Memang, semakin dalam luka, semakin besar daya pengampunan dibutuhkan. Ada kalanya kita tak mampu menjalani luka kita sendiri. Kita butuh teman, dukungan sosial. Selain itu sebagian luka butuh proses waktu yang tidak pendek.

Yang penting belajarlah untuk berbagi. Belajar terbuka dengan yang kita percaya. Berbagi perasaan kemarahan, luka kekecewaan kita. Kita butuh sahabat yang Menemani kita saat menjalani bekas luka tadi, sampai kita menang mengatasi luka.

Ketika Anda benar-benar memaafkan dapat meredakan kemarahan, dan beban fisik yang akibat kecewa atau marah ikut berkurang dan bahkan hilang.

Manfaat lainnya dari pengampunan mengurangi dampak negatif dari perasaan ketegangan, kemarahan, depresi dan kelelahan. Dengan pengampunan, “korban melepas ide balas dendam, dan tidak lagi bersikap bermusuhan, marah, atau kesal tentang pengalaman tidak menyenangkan itu.
Sebaliknya, mereka yang sulit memaafkan lebih banyak dikontrol kemarahan, ketegangan, kesedihan, dan sulit menguasai emosi. Stres jangka panjang juga dikaitkan dengan kesehatan mental yang lebih buruk bagi orang-orang yang punya tingkat terendah dalam mengampuni.

Meski memaafkan itu sulit, tetapi itu dapat dipelajari dan dapat dipraktekkan melalui pelbagai cara diantaranya mengembangkan empati dan mengungkapkan emosi Anda dengan cara yang tepat.


Julianto Simanjuntak


Previous
Previous

Bagaimana Bersikap Kepada Anak Supaya Anak Bersikap Baik